Peran “Ulama” Djawa Barat dalam Operasi “Pagar Betis”
Penumpasan DI/TII termuat dalam
Rencana Pokok (RP) dan Rencana Operasi (RO), sebagai berikut : pada
tahun 1958 merupakan tahun kebangkitan pemikiran Kodam III/Siliwangi ke
arah pemulihan keamanan di Jawa Barat yang lebih efektif dan efisien.
Kemudian lahirnya konsep Perang Wilayah (sudah disahkan dengan Ketetapan
MPRS No. II/MPRS/1960 merupakan manifestasi dari Undang-undang Dasar
45, pasal 30 ayat 1, yang menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak
dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara. Sementara itu penelitian
anti gerilya berjalan terus, dan diantaranya keluarlah Rencana Pokok 211
(RP 211) yang berbunyi “Membatasi gerak dari lawan”.
Menyesuaikan dengan mobilitas DI/TII,
maka keluarlah pada waktu itu Rencana Operasi 212 pada 1 Desember 1959.
Kemudian bulan Pebruari 1961 dikeluarkan Rencana Operasi 2121 (RO 2121)
yang merupakan percepatan dari RO 212, isinya berupa kebijaksanaan bahwa
pemulihan keamanan untuk wilayah Jawa Barat akan diselesaikan dalam
jangka waktu itu, hanya sampai tahun 1965. Tetapi dalam RO 2121 jangka
waktu itu hanya sampai dengan tahun 1962.
Peran Ulama Djawa Barat Pendukung Pagar Betis
Pada tahun 1956, para ulama di Priangan
Timur, yang jadi basis utama gerakan DI/TII, mengambil inisiatif untuk
mengadakan pertemuan dengan kalangan militer. Atas prakarsa kalangan
militer, maka terbentuklah Badan Musyawarah Alim Ulama
(BMAU) pada 18 Maret 1957 di Tasikmalaya. Prakarsa tersebut merupakan
bagian dari kebijakan Komandan Resimen 11 Galuh Letkol Syafei
Tjakradipura dan Kepala Stafnya Mayor Poniman. Resimen Galuh ini
memiliki wilayah kerja Tasikmalaya dan Ciamis (Priangan Timur).
BMAU ini didirikan setelah para ulama,
wakil militer dan pemerintah mengadakan pertemuan di Gedung Mitra Batik
Tasikmalaya (kini, Toserba Yogya). Ulama yang hadir dalam pertemuan itu
adalah KH. Ruhiyat Rois Syuriah Nahdlatul Ulama Cabang Tasikmalaya
(Pesantren Cipasung), KH Ishak Farid (Pesantren Cintawana), KH Fathoni
(Ciamis), KH Holil Dahu (Ciamis), pengasuh Pondok Pesantren Jamanis, KH
O. Hulaimi Ketua Tanfidziayah Nahdlatul Ulama Tasikmalaya (Cikalang
Tasikmalaya), KH R. Didi Abdulmadjid, KH. Burhan Sukaratu dan KH.Didi
Dzulfadli Kalangsari (Tasikmalaya). Hadir juga Mayor R. Mustari dari
Rohis (Perawatan Rohani Islam) Resimen Galuh. Selain itu ada juga Bupati
Tasikmalaya dan Bupati Ciamis serta wakil-wakil dari kepolisian dan
beberapa partai politik. Pertemuan itu mengambil sejumlah kesepakatan,
dan yang ditunjuk memimpin BMAU itu adalah KH. R. Didi Abdulmadjid
sebagai Ketua dan KH. Irfan Hilmy sebagai Penulis. Akan tetapi tidak
diketemukan suatu dokumentasi dan keterangan bagaimana struktur dan
personil selengkapnya dari BMAU ini.
Salah satu tujuan BMAU ini adalah untuk
memulihkan stabilitas keamanan di Priangan Timur. BMAU ini juga
berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan pengajian, pendidikan, dan
dakwah. Dengan demikian, cikal-bakal Majelis Ulama bisa dinyatakan
adalah BM-AU ini. Melalui BMAU ini para ulama mewujudkan upaya menjaga
keutuhan RI dengan jalur ishlah bainan naas (perdamaian antara sesama
manusia).
Pertemuan alim ulama dan Pemerintah,
sipil dan militer kemudian berlanjut diadakan pula didaerah lain,
seperti Konferensi Alim Ulama Militer se-Kresidenan Banten, pertemuan
Ulama Umaro Sumedang pada Juni 1958, Garut dan Bandung pada Juli 1958.
Pada 12 Juli 1958, Staf Penguasa Perang
Daerah Swatantra I Jawa Barat mengeluarkan Pedoman Majelis Ulama,
dinyatakan Majelis Ulama berasas Islam dan mempunyai tujuan melaksanakan
kerjasama dengan alat negara Republik Indonesia dalam bidang tugasnya
yang sesuai dengan ajaran Agama Islam. Dan pada 11 Agustus 1958
mengeluarkan Instruksi No.32/8/PPD/1958 kepada Semua Pelaksana Kuasa Perang Di Daerah Swatantra I Jawa Barat untuk membentuk Majelis Ulama didaerahnya
masing-masing berdasarkan pada dan sesuai dengan Pedoman terlampir, dan
Pelaksana Kuasa Perang yang sudah terlebih dulu membentuk Majelis
tersebut supaya menyesuaikannya dengan Pedoman ini.
Sebagai peningkatan dan lebih mengokohkan posisi Majelis Ulama, diselenggarakanlah Konferensi Alim Ulama-Umaro pada
7 9 Oktober 1958 bertepatan dengan 2 – 4 Rabi’ul Tsani 1377 H, di
Lembang Bandung, dengan sebuah Panitia Penyelenggara yang dipimpin Let.Kol. Omon Abdurachman sebagai Ketua Umum, seorang Perwira TT III / Siliwangi. Konferensi ini diselenggarakan pasti sudah, untuk mengokohkan kebersamaan dalam menegakkan NKRI.
Juru bicara Resimen 11 Galuh dalam Pemandangan umumnya antara lain
mengemukakan “Setelah BMAU didirikan atas kebijaksanaan Komandan RI 11
disertai C.PR.A.D-nya dan mendapat sambutan dan dukungan yang hangat
daripada ulama make segala kecurigaan, tekanan, fitnahan terhadap alim
ulama lenyap dan timbul kerjasama yang erat dan saling harga menghargai
disegala lapangan”. Disampaikan pula bahwa: “Rapat Alim Ulama Resimen
Infantri 11 tanggal 3 Oktober 1958 di Staff Resimen Infantri 11
menyetujui BMAU diganti manjadi MU”. Dan yang juga menjadi bahan
pertimbangan adalah keputusan Konferensi Alim Ulama Militer
se-Karesidenan Banten: “mengenai penempatan APRI dan alat negara
bersenjata lainnya, harus dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat
dan Agama didaerah mereka bertugas”, dan “mengenai para tahanan,
terutama alim ulama, yaitu supaya mendapat pelayanan dan perawatan yang
layak dan segera dilakukan pemeriksaan dengan care yang jujur dan adil”.
Para tokoh ulama itu pulalah yang
kemudian terlibat dalam Konferensi Alim Ulama-Umaro Daerah Swatantra I
Jawa Barat di Lembang, Bandung pada 7-9 Oktober 1958. Konferensi
tersebut menghasilkan keputusan yang berkaitan dengan tiga persoalan
pokok yang dihadapi seat itu yakni (a) usaha menyempurnakan pemulihan
keamanan dan pemeliharaannya, (b) usaha menyempurnakan pembangunan dan
(c) usaha penyempurnaan pendidikan dan kebudayaan.
Dalam Konferensi Lembang ini hadir memberikan Kata Sambutannya: Menteri Agama, KH. Moh. Ryas, Menteri Negara Urusan Kerjasama Sipil dan Militer, KH.Wahib Wahab, K.S.A.D. Jenderal A.H. Nasution, Ketua Pengurus Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat /Panglima Teritorium III / Siliwangi Kol.RA. Kosasih.
Diantara Keputusan Konferensi ini adalah
penegasan “Menyetujui dan Mempertahankan kebijakan Ketua Penguasa Perang
Daerah Swatantra I Jawa Barat dalam membentuk Seksi Rohani dan
Pendidikan beserta bagian-bagiannya (Lembaga Kesejahteraan Ummat dan
“Majelis Ulama”), sebagai badan Kerja Sama Ulama-Militer-Umaro “.
Maka karenanya, personalia dengan
struktur yang ditetapkan oleh Staf Penguasa Perang Daerah Swatantra I
Jawa Barat No. 53/8/PPD/58 tanggal 22 Agustus 1958 bersama dengan
Pedoman Majelis Ulama tanggal 12 Juli 1958, yang telah diuraikan dimuka,
mendapat legitimasi yang sangat kuat, untuk menghadapi situasi Jawa
Barat pada kala itu.
Dengan modal ini, yang selanjutnya ditempuh jalan gerakan “Pagar Betis” menghadapi DI/TII, telah tercapai pemulihan keamanan di Jawa Barat.
Jendral A.H. Nasution adalah penggerak utama “Rencana Dasar 2,1″,
yaitu gagasan yang mendasari : Musuh harus ditahan didaerah-daerah
tertentu, dan aksi-aksi Republik harus dipusatkan pada salah satu daerah
ini sekaligus, dengan demikian pangkalan musuh ditumpas satu demi satu.
Itulah sebabnya, Divisi Siliwangi dengan dibantu Divisi Diponegoro dan
Brawijaya, -yang tentu tidak merupakan kekuatan yang cukup-, pada
tahun 1960 seluruh penduduk sipil Jawa Barat diturutsertakan dalam
apresiasi, dan dibentuklah secara besar-besaran “Pagar Betis”.
Dalam gerakan “Pagar Betis” yang
kadang-kadang berlangsung berhari-hari ini, penduduk sipil membentuk
garis maju berangsur-angsur, dengan satuan-satuan kecil tiga sampai
empat prajurit pada jarak-jarak tertentu, tidak terlalu jauh satu sama
lain. Dalam teori, pagar betis ini disokong satuan-satuan militer
dibaris depan maupun dibaris belakang. Prajurit dibarisan belakang
merupakan semacam cadangan yang dapat digunakan pada tempat-tempat yang
sukar dimasuki digunakan taktik tidak dimasuki, tetapi dikepung.
Dalam praktek, Tentara Republik kadang-kadang menggunakan “Pagar Betis” menjadi “Perisai Manusia”.
Teknik lain yang digunakan, untuk memaksa pasukan DI/TII menyerah
adalah dengan menduduki sawah yang diduga dimiliki atau dikerjakan oleh
kaum kerabat mereka, agar panen tidak digunakan untuk memberi makan
pasukan DI/TII. Dari proses inilah lahir adagium ” Siliwangi adalah Jawa Barat dan Jawa Barat adalah Siliwangi”.
Maka
model atau pola hubungan antara Ulama-Umaro yang dikembangkan di Jawa
Barat ini kemudian menjadi salah satu prototipe model hubungan ulama dan
umaro pada tingkat nasional.
Maka pada tingkat nasional, pada 17 Rajab
1395 bertepatan dengan 26 Juli 1975, atas prakarsa kebijakan Pemerintah
dan terapan Menteri Agama RI (Prof.Dr.
H.A. Mukti Ali), Prof. Dr. HAMKA dan tokoh Bangsa lainya, dibentuklah
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Musyawarah Nasional I di Jakarta,
tanggal 21 – 27 Juli 1958 bertepatan dengan 11 – 17 Rajab 1395.
Majelis Ulama Jawa Barat yang sudah
terbentuk jauh sebelumnya sudah barang tentu turut memberikan saran dan
pandangan pada pertemuan pembentukan MUI itu.
0 komentar:
Posting Komentar