iPos : Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Solo, saat ini
dibangun berbagai macam hotel berbagai kelas. Hotel-hotel dan apartemen
bertebaran layaknya jamur di musim penghujan. Padahal secara logika,
pariwisata di Kota Solo sangat terbatas. Hal itu, sangat tidak berimbang
bila dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah kamar hotel yang mencapai
170 hingga 190 persen.
Kepala Disbudpar Solo, Dra. Eny Tyasni Suzana mengungkapkan,
pembangunan sarana-prasarana dan tempat wisata baru tengah dikebut
pengerjaannya. Dia menyebut pembangunan Museum Keris di samping Stadion Sriwedari
yang merupakan Monumen PON, merupakan museum yang akan menyimpan ribuan
keris bersejarah. Museum diharapkan menjadi salah satu daya tarik untuk meningkatkan
kunjungan wisatawan ke Kota Solo. “Pembangunan sarana wisata seperti itu
sedang dikebut. Kalau dalam waktu dekat rampung, bisa menjadi daya
tarik wisata,” ujarnya.
Objek wisata lain yang dalam proses pembangunan, lanjut Eny, di
antaranya Taman Wisata berupa pembuatan pintu sisi utara dan Kebun
Binatang di Taman Satwa Taru Jurug. Di samping itu Disbudpar juga berencana membuat konsep baru panggung
Wayang Orang Sriwedari yang kini dinilai kurang menarik bagi wisatawan
mancanegara. "Wayang Orang Sriwedari yang sudah lama populer setiap hari tetap
main. Tetapi penonton sedikit, mungkin karena konsep panggung tidak
menarik dan perlu diubah," ungkapnya
Berdasar hasil kajian BPIS Surakarta, dalam satu setengah dekade,
pertumbuhan jumlah kamar hotel mencapai 170 persen, dari semula sekitar
2.000 kamar di 2009 menjadi hampir 4.000 kamar di 2013. Sementara
pertumbuhan tingkat kunjungan hanya sekitar 30 persen. “Ada jurang perbedaan yang cukup dalam,” kata ketua Persatuan Hotel
dan Restoran Indonesia (PHRI) Surakarta Abdullah Suwarno, Selasa (7/10).
Salah seorang pengurus Skyscraper City Solo, Indra Putra Bawono,
menuturkan Solo akan dikepung beberapa gedung tinggi. Bahkan tertinggi
di Jateng dan DIY. “Ini membuat Solo memiliki gedung tinggi terbanyak di Jateng dan DIY.
Prediksi saya beberapa gedung tinggi mulai terlihat pada 2015,” kata
Indra saat ditemui
Solopos.com di lobi salah satu hotel di Solo, Minggu (8/6/2014) melalui solopos.
Hal yang aneh adalah, jumlah pendapatan sektor pajang justru Pemerintah
Kota (Pemkot) Solo merevisi nilai pajak hotel dari kisaran
Rp20 miliar menjadi Rp19 miliar. Meski begitu, capaian hingga triwulan
ketiga masih kurang memuaskan. Kepala Bidang Pendaftaran, Pendataan dan
Dokumentasi Dinas
Pendapatan, Pengeloaan Keuangan dan Aset (DPPKA) Solo, Maya Pramita,
mengatakan revisi dilakukan karena realisasi pada Mei sangat minim. Oleh
karena itu, dari pada tidak tercapai dan akan menyusahkan dalam
sistem penganggaran, pihaknya memutuskan revisi target. Sekretaris DPPKA
Solo, Tulus Widajat, menyampaikan target pajak hotel senilai Rp19,85
miliar baru tercapai Rp15,63 miliar atau sekitar 78,78% hingga Jumat
(3/10/2014).
Sementara pejabat humas Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia
(PHRI) Kota Solo, M.S.U. Adjie, mengakui wilayah Solo akan dikepung
gedung tinggi yang didominasi hotel. Adjie mengingatkan kondisi itu
dapat menguntungkan perekonomian Solo apabila dikelola maksimal. Dia
berharap akan terjalin sinergi pemerintah,
stakeholder, pelaku pariwisata, dan lain-lain.
Dia mengungkapkan pertumbuhan kamar hotel sebanyak 190% sejak
2009-2015 akan mengkhawatirkan apabila tidak diimbangi konsep pariwisata
yang jelas. “Pertumbuhan kamar harus diikuti pertumbuhan pasar. Semua
pihak harus ikut serta membangun pasar. Salah satunya dengan
meningkatkan infrastruktur, mengemas destinasi wisata Solo lebih
menarik, dan lain-lain,” tutur Adjie.
Sedangkan pariwisata Solo, selama ini hanya berdasarkan limpahan dari
biro wisata di luar Solo. “Turis asing tersebut kebanyakan didatangkan
oleh biro perjalanan wisata
dari luar Solo, seperti Yogyakarta, Jakarta dan Bali. Oleh karena itu,
kalau Yogyakarta ramai dikunjungi wisman, biasanya Solo juga akan
mendapat limpahan” papar Joko Pramudya yang merupakan Staf Pariwisata
Pura Mangkunegaran.
KAJIAN AMDAL
Tak terkendalinya jumlah hotel tersebut ditengarai banyak yang melanggar
analisa dampak lingkungan (Amdal). Ketua Tim Peneliti Dampak Kajian
Perhotelan, Ike Janita Dewi mengatakan, “Satu kamar hotel itu
membutuhkan 380 liter air, sedangkan rumah tangga maksimal hanya 300
liter air,” ungkapnya.
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma Jogja itu
menambahkan pembangunan hotel sebenarnya memang menguntungkan secara
ekonomi, karena dari penelitiannya di Jogja merambahnya hotel menambah persentase
produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar Rp1,7 triliun.
Angka itu didapat karena hotel dapat mendatangkan wisatawan yang juga
membeli produk-produk kerajinan, selain itu hotel juga membelanjakan
mebel serta jasa laundry diuntungkan. Akan tetapi kalau syarat perizinan hotel tidak ditegakkan dampaknya
pada lingkungan. “Moratorium pendirian hotel bukan solusinya, karena
yang penting perketat rekomendasi UKL-UPL ataupun Amdal,” terangnya.
“Kalau UKL [upaya pengelolaan lingkungan hidup] – UPL [upaya pemantauan
lingkungan hidup] dan Amdal diketatkan, pertumbuhan hotel tak sebanyak
sekarang,” ujar Ketua Tim Peneliti Dampak Kajian Perhotelan, Ike Janita
Dewi kepada Harian Jogja, Rabu (17/9/2014).
Menjamurnya Hotel di Kota Surakarta juga mulai dikeluhkan Dinas
Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Kota Solo. Kepala
Dishubkominfo Solo, Yosca Herman Soedrajad, menilai menjamurnya
pendirian hotel bakal
berpengaruh terhadap tingkat kemacetan lalu lintas di Solo. Terutama
apabila tidak disertai ruang parkir yang akan berdampak kemacetan.
Yosca menuturkan tidak bisa berbuat banyak dengan menjamurnya
pembangunan hotel di Solo. Menurutnya gerbang utama pengetatan pendirian
hotel ada di Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (BPMPT) serta
Dinas Tata Ruang Kota (DTRK).
”Rekomendasi pendirian utama itu ada di sana, termasuk IMB. Baru
setelah IMB, masuk ke amdal lalin. Hla di sini ini kami yang susah,”
katanya. (BN)